DPR Bahas Isu Internasional Dengan Parlemen Rusia
Isu-isu strategis internasional dibahas DPR dengan delegasi Parlemen Rusia. Dari soal konflik Suriah, konflik laut Cina Selatan, soal penyadapan, hingga soal kerja sama militer dan ekonomi Rusia dan Indonesia.
Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso membuka pembicaraan dengan Wakil Ketua Parlemen Rusia Nikolai Levichev kepada para wartawan. Saat menerima kunjungan kehormatan Parlemen Rusia di DPR, Kamis (21/11), Priyo mengungkapkan banyak hal. Bahkan, ia mengajak Levichev untuk menjawab pertanyaan para wartawan yang menghampirinya di lobi Nusantara III DPR.
Soal konflik di Suriah, DPR mengapresiasi sikap Rusia terutama Presiden Vladimir Putin yang meminta dunia internasional tidak mengintervensi Suriah. Biarlah pemerintah Suriah sendiri yang menyelesaikannya tanpa campur tangan negara lain. “Itu sama dengan sikap Indonesia,” kata Priyo.
Pertemuan Delegasi DPR dan Delegasi Parlemen Rusia terjadi Rabu malam (20/11) di Hotel Mulia, Jakarta. Priyo didampingi pimpinan Komisi I dan BKSAP sebanyak 7 orang. Sementara Wakil Ketua parlemen Rusia didampingi Duta Besar Rusia untuk Indonesia Mikhail Galuzin. Kedatangan parlemen Rusia ini merupakan kunjungan balasan atas kunjungan DPR sebelumnya ke Rusia.
Soal kerja sama militer, Indonesia telah membeli pesawat Sukoi buatan Rusia. Pembelian pesawat itu telah meningkatkan hubungan yang erat antara Indonesia dan Rusia. Namun, soal investasi Rusia di Indonesia, tampaknya masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan Amerika dan negara-negara Eropa lainnya.
Dan topik yang paling hangat yang juga dibicarakan adalah soal penyadapan yang dilakukan Amerika dan Australia. Presiden dan ibu negara Indonesia disadap. Bahkan, para menteri dan tokoh lainnya ikut pula disadap oleh Australia. Untuk soal ini, Priyo mempersilakan Levichev berbicara langsung kepada para wartawan. Lewat penerjemahnya, dengan bahasa Rusia, Levichev menegaskan, penyadapan itu melanggar HAM dan merusak hubungan baik antarnegara.
Rusia mengecam keras aksi penyadapan itu seperti juga kecaman yang dilayangkan masyarakat internasional. Ironisnya, kata Levichev, penjelasan pemerintah Amerika kepada negara-negara yang disadapnya sendiri tidak memadai dan malah membuat kasus ini menjadi lebih parah. “Penyadapan ini tidak dilakukan kepada pelaku aksi teror, tapi kepada pemimpin negara sahabat,” tandas Levichev.
Sementara soal penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia, DPR, kata Priyo, sedang mempertimbangkan memanggil Duta Besar Australia di Jakarta untuk dimintai keterangannya soal ini. Namun, aku Priyo, pemanggilan Dubes ke DPR untuk suatu kasus kurang lazim. Biasanya Dubes dipanggil ke Kemenlu. (mh), foto : wy/parle/hr.